Entri yang Diunggulkan

Politik Praktis: Korbankan Nilai, Hancurkan Budaya.

IPPMARY-News   | Melihat arus perkembangan sosial saat ini memungkinkan bagi siapa saja untuk menafsirkan fenomena kebudayaan yang di jalank...

Kamis, 10 November 2022

Pembagian Kekuasaan dan Langkah Konkrit Penyelesaian Sengketa Kepemimpinan di Desa Adat


IPPMARY-News — Problem pedesaan selalu menjadi prioritas negara bangsa (nation state) dewasa ini. Tak heran jika fokus Negara dengan agenda nawa citanya memprioritaskan pembangunan dari wilayah pinggiran, desa hingga ke pelosok-pelosok terpencil. Dalam rangka pembangunan nasional agar memiliki kedaulatan secara politik, serta mampu mandiri dalam melakukan pengelolaan ekonomi dan memiliki kepribadian yang berbudaya.

Dengan demikian desa menjadi sasaran pembangunan negara hal ini diperkuat melalui pembentukan UU desa No 6 tahun 2014 yang mengisyaratkan agar desa segera melakukan pembenahan secara struktural. Selain pembenahan struktur, posisi desa seolah-olah di desak oleh Negara agar segera melakukan reformasi kultural dengan tujuan agar agenda strategi Negara tidak di berhadap-hadapan dengan dinamika kultur yang di anggap sebagai penghambat pembangunan nasional.

Berangkat dari jalannya visi pemerintah pusat tentu akan melahirkan fenomena yang saling bertabrakan di dalam situasi tatanan masyarakat hukum adat (MHA) terhadap perkembangan dinamika Sosio-Kultural maupun Politik-Struktural. Menyikapi dua konsekuensi besar yang di hadapi masyarakat hukum adat (MHA) terutama di desa-desa yang memiliki semangat kultur yang masih terjaga (masyarakat hukum adat), di samping itu pula terdapat semangat Politik-Struktural yang tidak menempati posisi sebagai keseimbangan sosial. Seperti halnya di wilayah Papua, Maluku dll. 

Konsekuensi Pertama adalah terjadinya pergeseran kebudayaan akibat melaju pesatnya perkembangan modernisasi; kedua terjadi ancaman terhadap hak tanah ulayat atau tanah adat. Dua ancaman besar ini merupakan bahaya laten dari ambisi pembangunan negara yang berbasis pada surplus ekonomi dan pasar bebas.

Dengan demikian desa-desa yang masih mempertahankan dirinya sebagai masyarakat hukum adat (MHA) seharusnya secara cepat mengambil langkah konkrit dalam menyelamatkan aspek Sosio-Kultural dari sendi-sendi kebudayaannya dengan mempertimbangkan secara rasional keberadaan dinamika Politik-Struktural yang berbasis pada semangat kebudayaan dengan cara menggunakan simbol identitas yang fanatis tanpa memandang hal-hal yang lebih demokratis.

Desa adat atau masyarakat hukum adat (MHA) harus berani melangkah keluar dari jebakan Negara dengan menata basis masyarakat berdasarkan aturan kebudayaan yang luhur serta memperkuat tatanan Lembaga/Pemerintah Adat dengan tujuan menghindari ancaman/intervensi Negara terhadap kedaulatannya melalui piramida politik transaksional yang memperparah eksistensi sosial masyarakat hukum adat (MHA). 

Artinya desa yang masih menyandang status sebagai desa adat atau masyarakat hukum adat (MHA) sudah seharusnya dan selayaknya dengan cara-cara yang logis merancang suatu sistem yang ideal dengan memiliki 2 (dua) bentuk pemerintahan di dalam desa adat atau masyarakat hukum adat (MHA) sehingga tidak terjadi paradoks dalam lembaga pemerintahan dan atau tabrakan sistem dalam tatanan Sosio-Kultural yang berimbas pada ketidak stabilannya sistem kebudayaan.

Pertama: Pemeritahan Monarki (kerajaan) yang dijalankan secara absolutisme dengan memperkuat eksistensi tradisi, adat dan budaya sebagai nilai luhur yang masih aktif dan terpelihara sepanjang tidak bertentangan dengan negara kesatuan republik Indonesia;

Kedua: Pemeritahan Republik Demokrasi (admistrasi negara). Hal ini di lakukan agar menyelamatkan tatanan kebudayaan masyarakat hukum adat (MHA) dalam menghadapi gempuran globalisasi dan modernisasi serta meningkatkan mutu pemberdayaananusia maupun pembangunan yang bermutu dan berkelanjutan.

Relevansi dalam tulisan ini menawarkan dua pilihan dalam satu paket tatanan sosial yang bertujuan sebagai upaya mempertahankan eksistensi kebudayaan dan sekaligus menjalankan visi pembangunan nasional secara dinanis dan demokratis.

Suatu tinjauan kritis terhadap keadaan tersebut yang memungkinkan terjadinya retakan sosial dikemudian hari apabila pemerintah desa adat atau masyarakat hukum adat (MHA) masih saja bersikeras dan ingin tetap berada pada garis normatif dan tidak mau melepaskan diri dari sistem administrasi negara. Maka itu sama halnya dengan menanam bom waktu yang siap menghancurkan kedaulatan masyarakat hukum adat.


Penulis : Rosal wailissa



0 komentar:

Posting Komentar

Komentar anda merupakan kontribusi pikiran untuk penulisan selanjutnya.

https://ippmary-news.blogspot.com/p/contact-form-ippmary.html