Manusia dan Kesadaran Berpikir
Berbagai pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar yang dilakukan manusia, membuat manusia mampu membuka rahasia alam yang ada di balik struktur yang tersembunyi.
Binatang yang Rasional
Fakta bahwa kita dapat berpikir menunjukkan bahwa manusia merupakan entitas yang memiliki kesadaran. Ada relasi internal antara kesadaran dan pikiran. Pikiran juga memiliki prioritas atas dunia. Tanpa pikiran tidak ada realitas eksternal. Dengan demikian pikiran terpisah dari dunia. Pikiran adalah entitas yang mandiri.
Pikiran sebagai Jembatan Penghubung
Kamu mungkin tidak bisa mengubah kenyataan, tapi kamu bisa mengendalikan cara kamu untuk melihat suatu kenyataan. Sikap kamu berada di bawah kendali diri sendiri. Tinggalkan yang negatif dan fokus pada yang positif!.
Memburu Nikmat
Kesanggupan untuk bersabar dan bertahan dalam pikiran yang positif merupakan dasar dari loncatan-loncatan manusia selanjutnya.
Sepintas Senyum Kehidupan
Semakin kamu memberi makan pikiranmu dengan pikiran-pikiran positif, semakin kamu dapat menarik hal-hal hebat ke dalam hidupmu. Berbahagialah agar diri menjadi yakin dengan kesanggupan kehendak yang berenergi.
Rabu, 16 November 2022
Titik Kritis Bahaya Kemanusiaan Dari Ancaman Kerusakan Lingkungan Hidup
Minggu, 13 November 2022
STRATEGI KOTOR DI BALIK DINASTI POLITIK
IPPMARY-News — Dinasti Politik telah mewarnai lanskap politik kita dewasa ini, perkembangan dinasti politik tidak terlepas dari lemahnya penegakan hukum serta minimnya pengawasan institusi terkait dalam rangka memastikan berlangsungnya laga elektoral secara jurdil yang melahirkan momen elektro gampang di susupi oleh kelopak tertentu dengan ambisi ingin mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Seperti yang kita ketahui bersama, politik dinasti merupakan fenomena
politik yang ditandai dengan munculnya calon kandidat dari lingkungan keluarga
kepala pemerintahan yang sedang berkuasa.
Tren politik kekerabatan ini
sebagai gejala yang timbul akibat praktek politik yang melibatkan stakeholder
birokrasi kekuasaan maupun hubungan elektoral politik ditengah-tengah
masyarakat secara terbuka maupun tertutup (neo-patrimonialistik). Sayangnya
praktek patrimonial sudah menjadi rumpun beringin yang telah lama berakar
secara tradisional dalam kehidupan demokrasi kita yang mengutamakan regenerasi
politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang
prestasi sebagai buah demokrasi yang sehat.
Memproteksi perkembangan dan
prakteknya dinasti politik hari ini sudah barang tentu akan menumbuhkan lambung
oligarki politik yang memberi iklim demokrasi yang tidak kondusif diluar jalur
prosedural yang mengedepankan hak warga negara sebagai partisipan yang sehat
dalam memilih calon kepemimpinan sebagai harapan kesejahteraan.
Baca Juga : Pembagian Kekuasaan di Wilayah Desa Adat
Dinasti politik telah berevolusi
dari sistem kerja di dalamnya dengan segala peralatan kekuasaan yang melibatkan
elemen elite sebagai penggerak misi politik dinasti yang pada praktek awalnya
pengalihan kekuasaan sebagai pewarisan ditunjuk langsung oleh penguasa,
sekarang praktek tersebut dilakukan lewat jalur politik prosedural dan
konservatif tertutup (invesible hand), hal ini tentu menggambarkan penyakit
pada tubuh demokrasi.
Dampaknya tidak main-main, selain
matinya regenerasi kepemimpinan politik yang di sebabkan kekuasaan hanya
berkutat atau dikuasai oleh orang-orang yang mempunyai pertalian kekerabatan
atau berasal dari satu keluarga, di samping itu Politik dinasti akan berdampak
buruk bagi akuntabilitas birokrasi dan pemerintahan, karena cenderung serakah
dan berimplikasi kuat terjadinya praktek KKN.
Biasanya pola main atau strategi
politik dinasti sangatlah beragam, politik dinasti selalu berupaya untuk
merebut atau mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai cara dan peralatan
kekuasaannya dengan basis modal (plutokrasi).
Berikut ini penulis akan menerangkan pola strategi yang sering dipraktekkan dan di gunakan oleh dinasti politik dalam memperoleh kekuasaan pada momen kampanye politik.
Money politik atau politik uang
adalah salah satu strategi bagi dinasti politik dalam mengamankan katung katung
suarah dari setiap dapil. Sudah menjadi rahasia umum politik uang telah
mewarnai jalan demokrasi kita hingga dewasa ini. Dengan bermodalkan ekonomi
atau Uang parah aktor Atau Rezim kekuasaan dapat leluasa melancarkan
strateginya dengan cara membeli suara dari kosetuen. Meski dalam prakteknya
hukum kita telah memberikan teguran bagi setiap pelaku politik agar tidak
menggunakan strategi ini di dalam laga elektoral sebagai mana di atur dalam
undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum (undang-undang pemilu),
pada Pasal 515 menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat
pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada
pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu
tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat
suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan
denda paling banyak 36 juta". Selanjutnya dalam Pasal 523 Ayat 1, pasal 280
Ayat 1 dan 2. Namun aturan ini bisa dengan mudah di kelabui oleh para aktor politik.
Politik Klientelisme atau politik
patron Klain dapat dipahami sebagai relasi kuasa antara aktor politik yang
memberikan sesuatu (patron) dengan pihak yang menerima (klien) yang didasari
oleh pemberian loyalitas oleh penerima (paternalistik). Namun klientelisme tak
sekadar hubungan individual atau kelompok pemilih dengan politisi. Kadang
hubungan mereka terinstitusionalisasi. Ini juga menjelaskan fenomena dukungan
politik suatu kelompok terhadap calon tertentu. Hubungan ini mesti dipahami
dalam kerangka esensial dari klientelisme: quid pro quid, sesuatu untuk
sesuatu.
Devide et impera atau politik
pecah belah adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang
mempunyai tujuan memperoleh dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kumpulan
besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang semakin gampang ditaklukan. Dalam
konteks lain, politik pecah belah juga berupaya mencegah kelompok-kelompok
kecil untuk bersatu menjadi suatu kumpulan besar yang semakin kuat.
Untuk menghadapi perlawanan dari
penguasa lokal atau yang dikenal sebagai kekuasaan raja-raja di setiap desa
yang masih hidup kebudayaannya, para aktor dari dinasti politik tidak segan
menerapkan staegi politik devede et impera yang pertama kali dipopulerkan oleh
Julius Caesar dalam upaya membangun Kekaisaran Romawi. Strategi politik ini
kemudian di adopsi oleh pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi perlawanan
dari penguasa lokal bangsa Indonesia. Setelah sepeninggal Belanda strategi
politik ini masih saja kental di pakai sebagai jurus ampuh terutama bagi para
oligarki atau dinasti politik.
Akibatnya warga masyarakat ditengah-tengah kekosongan akan tumpulnya kesadaran politik, mengalami ancaman sosial yang berdampak pada ketidak-stabilan politik, ekonomi maupun keamanan. Parahnya, situasi yang timbul akbitat politik devede et impera ini tidak disadari oleh masyarakat sosial sebagai sebab utama dari produk design kekuasaan politik dinasti. Dinamika yang ditimbulkan dari keadaan semacam ini antara laih :
Menciptakan atau mendorong perpecahan dalam warga untuk mencegah aliansi yang dapat menentang kekuasaan mereka.
Membantu dan mempublikasikan mereka yang mau untuk memperagakan pekerjaan sama dengan kekuasaan yang berdaulat.
Mendorong ketidakpercayaan dan permusuhan antar warga.
Mendorong konsumerisme yang mempunyai kemampuan untuk melemahkan biaya politik dan militer.
Alhasil, dinasti politik
menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat
fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam
posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan
caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari
kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak
melalui proses kaderisasi.
Sebagai konsekuensi logis dari
gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal
dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elite dan
pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan
konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Sulitnya mewujudkan cita-cita
demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and
good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif
sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN).
Kamis, 10 November 2022
Pembagian Kekuasaan dan Langkah Konkrit Penyelesaian Sengketa Kepemimpinan di Desa Adat
Minggu, 06 November 2022
Sukses MAKRAB, Ketum IPPMARY Apresiasi Kinerja Pengurus
Selasa, 01 November 2022
Menyongsong Akhir Tahun, IPPMARY Lakukan MAKRAB Keilmuan
![]() |
Salah satu tujuan organisasi tak lain adalah memanusiakan manusia, dengan memberdayakan seluruh anggota dengan besic pengetahuan secara menyeluruh baik secara afektif maupun kognitif.
Jumat, 28 Oktober 2022
Tanah Adat dan Tantangan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dalam Pembangunan Politik Hukum
Tanah Adat dan Masyarakat Hukum Adat (MHA), dapat dikatakan sebagai
suatu wacana pembangunan politik hukum negara yang kurang mendapat tempat,
entah dari kalangan akademis maupun pemerhati pembangunan politik hukum hal
demikian di pengaruhi oleh banyak faktor yang sifatnya mungkin subjektif untuk
di jelaskan.
Tulisan ini berangkat dari hasil kajian dan kegiatan yang di
laksanakan oleh kawan-kawan IPPMARY Makassar pada tanggal 23 bulan Oktober 2022
bertepatan dengan hari lahir IPPMARY Makassar, suatu organisasi kedaerahan
Maluku yang berdomisili di Makassar.
Tanah yang terdapat pada wilayah Masyarakat Hukum Adat (MHA) tidak bisa kita pahami sebagai benda yang tidak bergerak semata, akan tetapi tanah yang memilki sifat kepemilikan bersama (komunal) memiliki nilai spiritual yang di anggap sebagai suatu hal yang sangat di hargai dalam bentuk peribadatan kebudayaan, hal ini memliki perbedaan mendasar antara negara dan masyarakat hukum adat dalam melihat prinsip utilitis nilai tanah tersebut. Begitupun sebaliknya dengan masyarakat hukum adat yang berangkat dari terminologi yang jauh berbeda dengan prinsip-prinsip cara pandang negara.
Negara menggunakan nilai-nilai rasional dalam membangun manusia, sedangkan adat menggunakan nilai-nilai batiniah dalam membangun manusia kedua hal yang tentunya sudah bertolak belakang. Kehadiran tatanan adat yang hidup lebih lama sebelum hadirnya negara, memaksa negara harus menyesuaikan diri dengan tatanan adat yang telah mendara daging di masyarakat hukum adat. Hal demikian tertuang dalam spirit UUD 1945 yang mendapatkan legitimasi norma hukum untuk hidup di negara. Namun dalam perspektif politik hukum hal yang sudah dijelaskan tidak cukup sampai disitu. Mengigat bahwa yang tertuang di dalam UUD butuh aturan-aturan di bawahnya atau peraturan pelaksananya yang dapat mengatur masyarakat adat dengan status kepemilikan tanahnya.
BACA JUGA : Pembagian Kekuasaan di Wilayah Desa Adat
Jika di
pelajari lebih jauh sebenarnya hal demikian sudah ada dalam beberapa peraturan
yang mengatur Masyarakat Hukum Adat (MHA) dengan tanahnya. Akan tetapi, negara tidak bersungguh-sungguh
untuk membentuk aturan hukum yang dapat melindungi tatanan tersebut. Bagaimana
tidak dalam Undang-Undang kehutanan yang mengusung kembali semangat asas domein verklaring
yang bertolak belakang dengan prinsip kepemilikan tanah.
Dalam asas domein verklaring, tanah yang terdapat pada wilayah indonesia adalah tanah milik negara atau milik kerajaan yang di berlakukan pada wilayah jawa dan madura pada zaman hindia belanda. padahal lahirnya peraturan ini sebagai respon negara dalam menyikapi hasil konsensus PBB yang dilaksanakan pada tahun 1999 di washignton yang menghasilkan satu paradigma baru terhadap kepemilikan tanah adat, negara-negara yang mengikuti sidang tersebut meyakini bahwa negara manapun yang mengambil tanah adat dengan regulasi yang jelas di anggap sebagai suatu perbuatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Kedudukan negara atas penguasaan tanah melalui pasal 33 UUD
dan ayat 1 UUPA membolehkan negara dapat menguasai tanah, redaksional
normatifnya tidak mengatur tanah dapat dimiliki oleh negara, akan tetapi
terdapat paradoks yang menjadi rancu bagaimana tidak terdapat perbedaan tipis
antara memiliki dan menguasai yang sulit untuk dibedakan.
Tanah dapat di bedakan menjadi dua bentuk yang pertama adalah tanah persukutuan dan tanah perorangan, secara pelaksanaan hukum dan regulasi pada tanah perorangan penulis anggap sudah cukup kompleks, hal yang bertolak belakang dengan tanah persukutuan atau tanah adat yang dimiliki oleh kelompok entitas tertentu berdasarkan genealogi. Tulisan ini penulis tidak menitikberatkan pada aspek politik atau diskursus lainnya.
Tulisan ini murni
menggunakan pendekatan politik hukum yang lebih mengerucut pada pembangunan
politik di bidang hukum, misalnya
beberapa peraturan-pertauran yang belum mampu melindungi kepemilikan tanah adat.
sebut sajah Peraturan Menteri Agraria No.5 tahun 1999, di dalam Peraturan Mahkamah Agung (PMA) ini tidak
semua tanah adat di anggap sebagai milik masyarakat adat, terdapat dua hal
tanah itu di anggap sebagai tanah adat yang pertama adalah tanah ulayat harus
di berdayakan, dan kedua tatanan adat harus di lembagakan secara formal,
penulis tidak sepakat dengan kedua syarat yang di ajukan oleh negara, pasalnya
sebagaian Masyarakat Hukum Adat (MHA) mengangap tanah memiliki nilai spritual yang tinggi dan yang di
baluti dengan mitos-mitos kebudayaan tertentu.
Hal demikian lebih di perparah dengan UU No.41 tahun 1999
tentang kehutanan yang mengatakan bahwa tanah adat adalah tanah milik negara,
dengan di keluarkannya UU tersebut beberapa elemen peduli masyarakat hukum adat
merespon dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan
pasal yang di anggap mencederai semangat UUD 1945 sehinggah di batalkanlah
beberapa pasal yang di nilai
kontroversi.
BACA JUGA : Strategi Dinasti Politik
Bahkan Tidak sampai disitu pemerintah tetap mencari celah
agar bagaimana bisa terhindar dari putusan MK No.35 tahun 2012 sehingga melalui
peraturan pemerintah tahun 2012 tentang perencanaan hutan, mengharuskan dirjen
planalogi dapat menetapkan kawasan hutan tanpa persetujuan masyarakat adat, dan
masyarakat adat harus memiliki izin untuk menduduki tanah adat yang telah
ditetapkan oleh dirjen planalogi, dan di dalam PP ini juga mewajibkan
pengukuhan masyarakat hukum adat dan status kepemilikan tanah adat harus
melalui PERDA, penulis merasa beberapa wilayah di indonesia yang belum memiliki
PERDA adat untuk melindungi masyarakat adat dan tanah adat. Padahal melalui
PERDA masyarakat hukum adat memliki eksistensi dan penguasaan penuh atas
tanahnya. Namun, legislatif lambat dalam melihat aspek demikian, sehingga
sampai zaman semoderen ini beberapa wilayah khusunya indonesia timur belum
memliki instrumen PERDA adat yang dapat melindungi masyarakat hukum adat dan
tanah adat hal tersebut merupakan tanda bahaya bagi kelangsungan masyarakat
hukum adat.
Sedangkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengakui keberadaan masyarakat hukum adat berbanding terbalik dengan peraturan pelaksananya, hal tersebut tertuang dengan jelas dalam PMA/ Kepala BPN No 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat.
Keberadaan masyarakat ulayat yang masih ada harus
di daftarkan dalam peta dasar pendaftran tanah dengan membuktikan tanda
kartografi, dalam hal ini, tidak di terbitkannya sertifikat. Penentuan tanah
ulayat tidak boleh hanya dengan peta ingatan atau pengakuan dari penguasa adat.
Beberapa kendala yang penulis anggap serius adalah contraditur delitate atau
persetujuan pemilik tanah yang berbatasan. Sehingga hal demikian terjadi
beberapa kendala pada penerapannya, kemudian jika kepemilikan tanah harus
melalui sertifikat menurut hemat penulis hal ini sulit untuk di wujudkan karena
sertifikat adalah keputusan yang di keluarkan oleh pemerintah yang memiliki
sifat individual, sedangkan tanah adat adalah tanah yang di kuasai oleh banyak
orang dengan demikian hal tersebut sulit untuk dilaksanakan. Bukan berarti
tidak bisa sama sekali namun, daerah harus memiliki formula yang dapat menjawab
tantangan perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan tanah adat.
Kamis, 27 Oktober 2022
SUMPAH PEMUDA DAN KESADARAN HISTORIS KAUM MUDA SAAT INI
Baca juga : Dialog Publik Isu Kedaerahan Maluku
![]() |
Sabtu, 22 Oktober 2022
HARLAH Ke-18 Tahun | IPPMARY Makassar
Tonton disini : HARLAH IPPMARY - MAKASSAR
Lagu Kebudayaan Negeri Adat Tamilouw | Hemasu Dolo Dolo
Hemasu dolo dolo;
Yama Tamloio e jadi;
Kehue e mansia sinonoloe;
Upuko Mtualu Si Sou..
Yama ei Heiyon a;
Si Palamanaeti;
Jadi Kalau Sei Ne Pahiati;
Hen Bukan... Upu Ana Yamano..
Mae na... Upu Ana;
Siwataun Ipamansaeti;
Yotomina na e Maropi...
Mae na... Ipamansaeti
Ko Yamano.... Tamloio;
Hoo... Sioo... Yama Adat (2x)
Mae na... Ipamansaeti
Ko Yamano.... Tamloio;
Hoo... Sioo... Yama Adat (2x)
#Tamilouw #YamaAdat #NegeriTamilouw
IPPMARY-Makassar Gelar Dialog Publik Kedaerahan tepat di Hari Jadi Ke-18 Tahun
![]() |
Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Hatumary (IPPMARY)-Makassar menggelar Dialog Publik Lintas Organda dengan Tema “Agraria dan Eksistensi Kedudukan Masyarakat Hukum Adat Dalam Sistem Demokratisasi Daerah” pada, Sabtu (22/10/2022)
Kegiatan ini diikuti kurang lebih 100 peserta, baik dari kalangan Mahasiswa, Akademisi dan Aktivitas lingkungan hidup di jajaran Kota Makassar.
Kegiatan ini diikuti kurang lebih 100 peserta, baik dari kalangan Mahasiswa, Akademisi dan Aktivitas lingkungan hidup di jajaran Kota Makassar.
Kegiatan yang bertepatan dengan hari lahir terbentuknya Organisasi Kedaerahan Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Hatumary (IPPMARY)–Makassar yang ke-18 tahun ini digelar di Gedung Asrama HPMM Massenrengpulu.
Turut hadir Sesepuh, Dewan Penasehat dan Dewan Senior IPPMARY–Makassar serta para senior aktivis Maluku-Makassar.
![]() |
Moment memperingati Hari Lahir Terbentuknya IPPMARY-Makassar ke-18 Tahun |
Dalam releasenya, Ketua Umum IPPMARY-Makassar, Asma Dian P. Nurlette menyampaikan sekaligus menjadi kata sambutan pada kegiatan Dialog Publik Lintas Organda, ini dimaksudkan sebagai momen peringatan Hari Lahir Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Hatumary (IPPMARY) Makassar. Yang ke-18 Tahun, ungkapnya.
Ia kemudian menegaskan ke seluruh anggotanya untuk menjadikan Milad tahun ini sebagai sarana repleksi terhadap perjalanan panjang aktivitas IPPMARY–Makassar sekaligus melakukan kontemplasi bagi kemajuan IPPMARY–Makassar dengan cita-cita organisasi yang lebih berkarakter kritis kedepannya.
“IPPMARY–Makassar akan terus menjadi salah satu wadah pendorong bagi peningkatan kehidupan generasi penerus Yama Latu Tamloiyo/Tamilouw, yang sadar serta menjunjung tinggi nilai solidaritas dan kemanusiaan yang berguna bagi bangsa dan negara, terkhususnya Negeri Musitoa Amalatu.” tegasnya
Senada dengan, Alie Al-Hakim selaku Dewan Senior IPPMARY Makassar dalam sambutannya pun memberikan aspirasi dan motivasi kritis terhadap eksistensi Organda IPPMARY-Makassar yang masih tetap eksis dengan sikap kritis yang progresif terhadap isu-isu pemerintahan Daerah dan kondisi sosial kemasyarakatan yang secara aktif selalu menjadi bahan diskusi dan kajian dalam rutininitas kelembagaan.
“Eksistensi IPPMARY-Makassar sampai saat ini masih memegang teguh prinsip idealisme atas semangat kesadaran, persaudaraan dan kemanusiaan sebagai pilar kelembagaan dalam memberikan gagasan kritis yang kontributif terhadap isu-isu kedaerahan, baik di tingkat pemerintahan Desa maupun pemerintahan Daerah dan Nasional dalam segala aspek yang selalu diaktifkan dalam agenda diskusi maupun kajian rutin” pungkasnya.
Momen kelahiran IPPMARY-Makassar ke-18 yang dirangkaikan dengan Dialog Publik ini membuktikan bahwa IPPMARY-Makassar sebagai organisasi kedaerahan dan pada umumnya generasi Maluku-Makassar telah bangkit dengan kesadaran dan kemerdekaan pikiran kritis, progresif dan responsif demi melihat kondisi bumi Maluku kedepan yang lebih baik, tambahnya.
Alie Al-Hakim melanjutkan dalam keterangan di akhir sambutannya, kegiatan ini semata-mata adalah murni dari hasil kajian rutin tanpa ada tendensi politik apapun dan dari pihak manapun yang menunggangi kegiatan ini, tutupnya (rilis).
Tonton Perayaan HARLAH ke-18 IPPMARY - Makassar : >>> VIDIO IPPMARY-News
Dialog yang makin memanas dengan gagasan-gagasan organik dan responsif menjadi lebih dialektis dengan representasi pikran naratif dari berbagai argumentasi kritis aktivis generasi Maluku dengan berbagai diskursur yang hangat mengenai masalah-masalah Agraria dan Masyarakat Hukum Adat yang terjadi di bumi Maluku.
Tak mengenal henti, diskusi dengan pemaparan materi yang lugas disampaikan oleh beberapa narasumber generasi asal Maluku diantaranya: Asma Dian P. Nurlette — Alie Al-Hakim — Rosal Wailissa — Wawan Gifari Tanasale — Varis Vadly Sanduan — Ringgo Larengsi — Risfandi Tuarita dan berbagai aktivis generasi muda Maluku dari berbagai daerah dan organda lainnya maupun kalangan akademisi yang turut berperan aktif dalam forum diskusi tersebut.
![]() |
Pamplet Dialog Publik & Bacarita Isu Kedaerahan |
